Jumat, 03 April 2009

Sikap PMKRI terhadap FTA

Pernyataan PMKRI Cab. Surakarta "St. Paulus"
Terkait Free Trade Agreement ASEAN
Koreksi Bangsa Indonesia, terhadap krisis yang melanda.

Perubahan yang terjadi seiring dengan semakin gencar perdagangan bebas dan semakin dielu-elukan keberadaanya membuat semakin terpuruk keadaan ekonomi negara yang sedang berkembang. Perdagangan bebas merupakan sebuah keniscayaan. Bagi Negara yang sudah siap menghadapinya, perdagangan bebas digunakan sebagai ruang untuk memperoleh pasar baru dan bebas tanpa sekat Negara, tetapi bagi Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dapat menjadi sebuah mimpi buruk. Perdagangan bebas berangkat dari keinginan untuk menghilangkan kemiskinan dengan cara membuat negara-negara bisa mendapatkan produk yang lebih murah, sementara pada saat bersamaan, negara-negara miskin bisa meningkatkan pendapatan orang-orang miskinnya, terutama petani, peternak, nelayan, dan petambak kecil, dengan cara melakukan ekspor ke negara-negara maju.

Per tanggal 15 Desember 2008 di Seketariat ASEAN Jakarta telah disepakati kerjasama ASEAN yang dituangkan dalam ASEAN CHARTER (Association of South East Asian Nations) atau Piagam ASEAN. Seiring dengan adanya piagam ini ASEAN semakin maju dalam usaha untuk membentuk masyarakat yang berintegritas. Sejalan dengan perkembangan kondisi global, ASEAN pun mengalami perkembangan pesat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perkembangan ASEAN memasuki zaman baru dengan mengemban cita-cita sebagai komunitas Negara-negara Asia Tenggara yang damai, stabil dan sejahtera, saling peduli dan diikat bersama dalam kemitraan. Terbukti dalam KTT-9 di Bali menyetujui pembentukan komunitas ASEAN (ASEAN Community). Komunitas ASEAN (ASEAN Community) terdiri 3 pilar: KOmunitas Keamanan ASEAN ( ASEAN Security Community/ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC), dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Sosio-Cultur Community/ASCC). Dalam bidang ekonomi tertuang jelas bagaimana sebelumnya ASEAN ini dibentuk, dan mempunyai tujuan yaitu mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan perkembangan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara melalui usaha-usaha bersama dalam semangat persamaan dan perhimpunan untuk memperkuat landasan bagi masyarakat bangsa-bangsa Asia Tenggara yang makmur dan damai. Bidang ekonomi ASEAN membuat kesepakatan untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya.


AFTA dibentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002. Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area ( CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk 1 mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.

Kesepakatan-kesepakatan tersebut seakan menjadi mimpi buruk bagi Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia . Bagaimana kondisi rakyat yang semakin tertindas. Cita-cita yang ideal itu, saat ini, ternyata tidak menguntungkan negara-negara miskin. Banyak sector yang akan menjadi korban dari perdagangan bebas, Subsidi terhadap petani di negara-negara kaya menyebabkan hasil pertanian di negara-negara berkembang tampak seperti seolah-olah dihasilkan dengan cara tidak efisien. Hambatan impor produk pertanian primer oleh negara kaya atas produk pertanian negara berkembang dalam bentuk nontarif, misalnya melalui standar kesehatan, menyebabkan petani negara miskin tidak bisa menjual produknya.

Dalam kenyataan, ketidakseimbangan itu benar-benar seperti semut melawan gajah. Negara-negara kaya memiliki banyak sumber daya, riset, data, dan mampu membayar staf yang terus-menerus mengikuti perkembangan perundingan, sementara negara berkembang seringkali tidak mampu menyediakan hal itu. Akibatnya, dalam perundingan, negara berkembang sering dibuat tak berkutik. Dan, bila hasilnya adalah keuntungan untuk negara kaya dan kerugian untuk negara miskin, itu disebut sebagai sebuah perundingan yang adil. Terbukti jelas bagaimana Indonesia menjadi yang katanya kaya akan sumber daya alamnya kini menjadi Negara yang krisis sumber daya. Terlihat banyak masyarakat masih mencari bahan bakar (gas, minyak tanah, premium, dll) yang mana produk tersebut merupakan kekayaan Indonesia tetapi kita harus mengalamai kelangkaan. Meski migas hakikatnya milik rakyat, kenyataannya 85% ladang migas dikuasai pebisnis asing. Semua sumber gas bumi dengan cadangan besar juga telah dikuasai modal asing. Ada 28 Blok lapangan Migas di Jatim, yang 90%-nya dikuasai oleh korporasi. Blok Cepu dikuasasi Exxon. Blok Pangkah di Kabupaten Gresik dikuasai Amerada Hess. Di Perairan Sampang Madura dikuasai Santos Oyong Australia . Di Tuban-Bojonegoro-Lamongan dan Gresik dikuasasi Petrochina. Dll.
Pada tahun 2000 keuntungan yang diraih Exxon mencapai US $ 210 miliar. Ironisnya, di tengah mahal dan langkanya gas di dalam negeri, selama ini ternyata Indonesia mengekspor gas ke luar negeri dengan dengan harga yang super murah. Ini terutama terkait dengan kontrak penjual gas Tangguh ke Cina yang diteken pada masa Presiden Megawati. Kontrak penjualan tersebut—dengan harga flat 3,8 dolar/ mmbtu selama 25 tahun masa kontrak, padahal harga di pasaran internasional saat ini 20 dolar AS—menurut Wapres Yusuf Kalla, berpotensi merugikan negara sebesar Rp 750 triliun (Kompas.com, 29/8/2008). Memang, saat ini Pemerintahan SBY-JK sedang melakukan negosiasi ulang. Namun, jelas hal itu belum menyelesaikan masalah jika pasokan gas di dalam negeri kurang dan harganya tetap mahal sehingga sulit dijangkau rakyat kebanyakan. Harga bahan BBM yang semakin mahal, harga bahan pangan setiap hari makin tinggi dan semua komoditas kebutuhan sehari-hari harganya makin melambung hingga sebagian rakyat tak bisa menjangkaunya? Menurut media kompas Kamis, 8 Mei 2008, Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan, kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa.

ASEAN sebagai asosiasi bangsa-bangsa kawasan Asia Tenggara semakin lantang mengusung agenda-agenda neoliberal. Sudah menjadi rahasia umum praktek neoliberalisme di negara-negara berkembang akibat intervensi negara-negara maju melalui mekanisme SAP (Struktur Ajustment Program), merombak struktur negara serta mendesak negara berkembang mengkomersialisasikan sektor-sektor vital domestik. Negara berkembang mutlak menjalankan liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi yang merupakan penopang utama mazhab politik ekonomi neoliberal, dalam rangka penyembuhan ekonomi di waktu krisis dan pertumbuhan ekonomi dengan menggenjot ekspor-impor. Persoalan menjadi lain ketika resep ekonomi neoliberal tersebut tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan, justru semakin memicu problem structural di kawasan ASEAN.

Integrasi kapitalisme dan intervensi terarah melalui jalur kesepakatan ”Free Trade Agreement” (FTA) kenyataannya telah mendeligitimasi terlemparnya aset-aset vital domestik karena persaingan ketat. Proyrek ekonomi neoliberal di Indonesia sejak dilantik menjadi anggota WTO adalah mimpi buruk sebuah negeri pinggiran. Melalui kebijakan privatisasi pemerintah terus-menerus secara berkala menjual BUMN kepada kaum pemodal asing. Menurut IGJ penyusutan jumlah BUMN terbesar terjadi antara tahun 2005-2006 , semenjak SBY-KALLA berkuasa. Jika tahun 2004 dinyatakan masih terdapat 158 BUMN , akan tetapi pada tahun 2006 hanya tersisa 139 BUMN. Menneg BUMN Sugiharto pernah menyatakan bahwa pemerintah berencana menurunkan jumlah BUMN dari sekitar 150 BUMN menjadi 50 BUMN paling cepat bias dilakukan tahun 2009 . Dasar privatisasi selalu mendasarkan pada pertumbuhan ekonomi sekaligus penyelamatan APBN. Disaat para elite sibuk bagaimana menyelamatkan keuangan negara dan menstabilkan perekonomian, kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan tetap sebagai penderitaan kronis yang harus ditangggung rakyat sampai saat ini. Sebagaimana dikemukankan oleh Petras dan Veltemeyer, tujuan pelaksanaan privatisasi BUMN sesungguhnya bukan untuk mengambil alih perusahaan, melainkan untuk menata ulang struktur perekonomian sebuah negara guna melempangkan jalan bagi penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara Internasional .

Struktur ekonomi politik rezim neoliberal semakin tertata sejak ASEAN FTA disepakati sebagai model pembangunan ekonomi kawasan. Menurut Stephen Greenberg dalam penelitihannyan di Afrika Selatan, model pembangunan tersebut sesungguhnya disituasikan oleh konteks restrukturisasi sistem ekonomi dan politik global sepanjang dekade, dikendalikan oleh para pengelola negara, institusi-institusi global multilateral dan para elite ekonomi berbasis laba. Kenyataan yang sudah berlangsung, manakala Singapura meluncurkan program restrukturisasi ekonomi dengan jalan merelokasi proyek-proyek investasi global ke Batam dan pulau-pulau di propensi kepulauan Riau tidak pernah memberikan kontribusi yang adil bagi Indonesia. Berdasarkan data statistik laporan kinerja Batam yang dilansir IGJ; pada tahun 2006 perbandingan investasi swasta lokal dan asing adalah 57% berdanding 43%. Pada bagian lain meski investasi swasta lokan dan asing menunjukan terd kenaikan, anmun rendah dalam penyerapan tenaga kerja. Tahun 1998 total investasi swasta mencapai 5,166 million US $, NAIK MENJADI 5,351 million US $, namun trend kenaikan tersebut tidak diikuti kemampuan dalam menyerap tenaga kerja. Pada tahun 1998 penerimaan angkatan kerja mencapai 53,02 persen, kemudian turun menjadi 41,76 persen tahun 1999, dan kembali turun mencapai 34,01 persen pada tahun 2000.

Pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN tahun 2008 melambat, yakni dari 5,1 persen menjadi 4,9 persen. Dalam logika ekonomi formal kondisi ini sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia dan komoditas internasional serta masih berlangsungnya penyesuaian atas dampak subprime mortgage dan penurunan harga perumahan di Amerika Serikat. Keadaan ini praktis memancing reaksi negara-negara maju guna mengkonsolidasikan aset-aset mereka di ASEAN, melalui usulan-usulan yang secara sepihak berpihak keberlangsungan investasi. Maka pengadaan proyek-proyek infrastruktur di ASEAN akan sangat mendukung investasi. Ini sejalan dengan usulan Jepang atas perubahan WG-WG (Working Group) yang didasarkan pada isu legal and regulation, demand side, supply side, and infrastructure. Keterlibatan pemerintah semata-mata hanya diperlukan untuk menurunkan biaya resiko, kepastian keuntungan investor dan garansi proyek. Konsep ini terkait dengan pembentukan ASEAN Infrstructure Fianacial Integration in ASEAN (RIA-Fin) khususnya dalam isu deeper capital market dan program infrastruktur yang tercantum pada ASEAN Economic Community Blueprint .

Retorika penanganan krisis maupun mempercepat pertumbhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur pendukung investasi sudah lama dipromosikan pegiat rezim neoliberal. Hampir semua proyek-proyek berskala besar seperti pembangunan DAM-DAM raksasa dan infratruktur besar yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, telah diambil alih perusahaan-perusahaan multinasional dibidang konstruksi sebagai pemegang tender. Pengalaman Indonesia setiap proyek pengadaan infrastruktur selalu disertai penggusuran pemukiman-pemukiman warga lokal. Jika proyek tersebut benar-benar akan dijlankan dengan skala besar, maka hak-hak rakyat atas ekonomi dan hunian akan terancam, sebab prosentase dampak sosialanya lebih besar daripada penyerapan tenaga kerja.

Selain ASEAN FTA beberapa perjanjian perdagangan bebas kawasan Asia Tenggara diantaranya; Indonesia Jepang EPA, ASEAN-China, ASEAN-Korea, dan ASEAN-EU FTA sedang dalam proses negosiasi. Seperti yang sudah kami paparkan sebelumnya kerjasama perdagangan dengan model FTA didasarkan pada hokum-hukum neoliberal. Agar system pasar berjalan sepenuhnya, Negara-negara maju menuntut akses pasar seluas-luasnya di Negara berkembang, merombak komponen-komponen domestik yang sekiranya menghambat laju investasi. Sudah menjadi kewajiban mutlak, Negara anggota WTO wajib menjalankan ketentuan perdagangan internasional. Berlangsungnya FTA di ASEAN bisa dipastikan semakin memperkuat dominasi negara-negara barat dalam iklim yang kompetitif. Apalagi kondisi ini diperburuk lemahnya Negara berkembang pada setiap negosiasi-negosiasi perdagangan internasional seperti halnya saat perundingan WTO. Praktis Negara pinggiran selalu disudutkan dalam konstalasi perdagangan internasional, selebihnya bagi Negara-negara super power Negara berkembang hanya sebagai lading subur penghasil dollar.

Ancaman Terhadap Sektor Vital

Mayoritas Negara berkembang seperti Asia Tenggara pada dasarnya masih mengandalkan sector pangan sebagai ujung tombak perokonomian nasional. Paling tidak ketika sector formal memburuk dengan ditandainya beberapa industri besar gulung tikar sebagai dampak krisis financial global, sector pertanian berpengaruh besar terhadap stabilisasi perekonomian Indonesia. Selama 10 (sepuluh) tahun terakhir (1998- 2008) sector pertanian memperlihatkan ketangguhannya disaat krisis mengguncang negeri ini. Walaupun disisi lain arus liberalisasi, sebagaimana diperlihatkan dengan ekstraksi komoditas- komoditas yang berorientasi ekspor impor adalah problem tersendiri dalam konstelasi hukum perdaganan neoliberal.

Dibandingkan dengan sector lainnya sector pertanian yang mencakup kehutanan, peternakan, dan perikanan menyumbang 4,3% pertumbuhan ekonomi nasional, lebih tinggi 0,1% dari sector industri pengolahan . Ironisnya pemerintah sampai hari ini belum menunjukkan keberpihakan terhadap masa depan pertanian nasional, terlebih kepada kaum petani. Padahal dari jumlah angkatan kerja nasional sebesar 108,1 juta, sector pertanian menampung beban tenaga kerja yang lebih besar yaitu berkisar 42,5 juta orang dan sebanyak 24,8 juta keluarga petani hidup dari sub sector pangan serta mengalami kenaikan taraf hidup saat harga beras, jagung dan kedelai membaik hingga September 2008 .

Walaupun demikian, gencarnya komoditas- komoditas impor yang seharusnya dapat diperoleh di dalam negeri seringkali mengombang ambingkan nasib pekerja pertanian. Petani seringkali merugi dengan permainan harga pasar yang fluktuatif sehingga berujung minimnya akses masyarakat bawah untuk kebutuhan pangan. Apabila mengacu pada dokumen era baru pengentasan kemiskinan di Indonesia Bank Dunia tahun 2006 hampir setengah penduduk Indonesia (49,5%) berpenghasilan dibawah US $ 2 per hari. Akibat kenaikan bahan pokok berkisar 15%- 30%, setidaknya 110 juta orang di Indonesia sulit mengakses makanan . Terlebih kalau menggunakan data kemiskinan versi BPS 2006 garis kemiskinan berdasarkan pendapatan Rp 6.000,- per kapita per hari di Indonesia berjumlah 39,05 juta orang atau 17,75% total penduduk, sedangkan 63,41% orang miskin tinggal di pedesaan, diukur komoditas makanan. Peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan) menyumbang garis kemiskinan sebesar 74,99%. Wajar apabila keterbelakangan dan kemiskinan merupakan penderitaan kronis di negeri yang kaya tapi melegalkan praktek monopoli sumber daya ekonomi.

Patut disayangkan sejak konferensi dunia yang mengasilkan Peasant Charter (Piagam Petani) tahun 1979 menjadi “upacara kematian”, yang digerus oleh model- model pembangunan pedesaan (termasuk pertanian) yang baru, seperti Revolusi Hijau, Agroindustri/ Agribisnis, produksi komoditi ekspor dan yang lainnya (Noer Fauzi). Kondisi ini telah mengukuhkan keberadaan sector pertanian dalam mekanisme perdagangan global di bawah ekonomi Neoliberal. Sejak tahun 1997 ditetapkan liberalisasi pertanian, monopoli pertanian kini beralih dari petani pada para pedagang dan importer besar, seperti perusahaan multinasional dan agribisnis raksasa yang mengatur komoditas Internasional dengan mengorbankan kehidupan petani .
Ancaman sector pertanian yang paling mendasar disebabkan struktur agraria yang timpang. Menurut Anton Apriyantono (Menteri Pertanian) alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis dengan laju mencapai 80.000 hektar per tahun. Sementara kemampuan cetak sawah nasional di bawah laju alih fungsinya. Dilihat segi kepemilikan lahan cukup memprihatinkan rata- rata kepemilikan lahan petani hanya 0,3 hektar per kepala keluarga padahal luas lahan ekonomis minimal 10 hektar di Jawa dan lebih dari 10 hektar di luar Jawa. Sebagai pembanding perlu dilihat profil lahan pertanian di Brazil . Luas lahan pertanian Indonesia sekitar 21 juta hektar sama dengan luas lahan kedelai di Brazil, luas sawah Indonesia sama dengan luas lahan tebu di Brazil, dan luas ladang penggembalaan sapi di Brazil (220 juta hektar) lebih luas dari seluruh daratan di Indonesia (190 juta hektar). Penyusutan lahan produktif tereduksi hutan lindung, hutan produksi, pemukiman, industri dan infrastruktur. Ditambah mobilisasi lahan untuk komoditi non pangan seperti biofuel (energi alternatif) semakin menambah penyusutan lahan-lahan produktif.

Pembukaan pasar di sektor paling strategis praktis mengancap kedaulatan pasar nasional terlebih akan berimbas pada nasib perekonomian nasional. Kerakusan imperialisme global dengan melaksanakan putaran Doha (perundingan WTO sebelumnya), dengan mendesakkan liberalisasi sepenuhnya sektor pertanian sama halnya menyerahkan kehidupan rakyat kepada mekanisme pasar. FTA ASEAN- UNI EROPA merupakan teknik konsolidasi mutakhir pengerukan aset- aset strategis oleh negeri Imperialis kepada negeri pinggiran.

Seruan PMKRI

Atas dasar fakta-fakta itulah ini saat yang paling tepat untuk mendesak dilakukannya koreksi secara mendasar atas system ekonomi Indonesia secara menyeluruh. System yang dipengaruhi oleh Negara-negara yang liberal kini saatnya kita rombak secara keseluruhan. Neoliberalisme yang terjadi sudah gagal dan membawa kita masuk kedalam mimpi gelap perokonomian. Atas nama rakyat Indonesia , kaum buruh, tani harus mendesak untuk dilakukannya koreksi terhadap system ekonomi, kebijakan investasi, dan system keuangan nasional Indonesia.

Sebagai negeri agraris dan maritime sudah saatnya membangun industri nasional yang berbasis kerakyatan yang terintegrasi dari hulu sampai hilir yang terindustrial. Dengan melaksanakan terlebih dahulu :
1. Renegosiasi asset- asset yang sekarang dikuasai korporasi- korporasi yang berbasis laba.
2. Nasionalisasi asset- asset.
3. Pelaksanaan Reforma Agraria sebagai landasan tolak pembangunan industri nasional.
4. Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan mampu diakses seluas-luasnya oleh komponen masyarakat.


Oleh:
DPC PMKRI Cab. Surakarta "St. Paulus"